Ini sebuah pencapaian yang belum pernah terjadi di negeri tersebut, baik oleh film lokal maupun asing. Dirancang sebagai sebuah blockbuster, kesuksesan Mermaid mungkin sudah bisa diprediksi. Namun, bukan berarti hal tersebut menutupi bahwa film ini punya sesuatu yang lebih dari sekadar film hura-hura.
Meski kali ini tak ikut sebagai pemeran, gaya Chow yang dikenal dari film-film yang dibintangi maupun digarapnya sebelum ini—sebut saja Shaolin Soccer (2001) dan Kung Fu Hustle (2004)—masih kental terlihat di Mermaid. Bahkan, dari materi-materi promosinya, sudah jelas bahwa yang ingin dijual di sini adalah humor absurd gila-gilaan khas Chow selama ini. Akan tetapi, saat filmnya disaksikan secara menyeluruh, ternyata bukan hanya itu yang ditawarkan Mermaid.
Mengadaptasi secara bebas dari dongeng The Little Mermaid, cerita film ini berpusat pada seorang putri duyung yang jatuh cinta pada seorang manusia. Plot dasar itu kemudian dikembangkan menjadi sebuah kisah modern tentang keserakahan pengusaha yang membahayakan makhluk hidup lain demi kepentingan sendiri.
Adalah Liu Xuan (Deng Chao), pengusaha muda yang mencanangkan pembangunan real estat megah di sebuah tempat bernama Teluk Hijau. Ia pun menyetujui metode dari rekannya, Ruo-lan (Zhang Yuqi), untuk memakai alat khusus mengusir makhluk hidup di lautan sekitar teluk tersebut.
Karena rencana itu, seorang putri duyung berwatak polos bernama Shan (Jelly Lin) diberi misi untuk menyamar jadi manusia darat, mendekati Liu Xuan, lalu membunuhnya. Kurang pengalaman, upaya Shan selalu menemui kegagalan. Malahan, ia jadi terlalu dekat dengan Liu Xuan, hingga mereka saling jatuh cinta. Namun, bagaimana jika Liu Xuan tahu identitas Shan sebenarnya, dan bagaimanakah cara Shan membela kaum manusia ikan yang terancam kehilangan habitat karena Liu Xuan?
Cerita Mermaid memang terkesan klise, lagi-lagi berpusat pada sebuah kisah cinta dua dunia, yang ditambahkan berbagai macam humor dan adegan-adegan spektakuler dengan bantuan animasi CGI untuk membuatnya terlihat megah. Kesederhanaan cerita Mermaid sebenarnya bukan kelemahan, karena paling tidak membuat penonton langsung punya pegangan cerita film ini akan ke mana, mengingat film-film komedi seperti ini sering menampilkan adegan-adegan absurd dan tak relevan demi memancing tawa, yang berisiko melebar ke mana-mana. Untungnya, plot utama film ini dirangkai kuat dari awal hingga akhir, sehingga sekalipun film ini penuh tawa, manisnya kisah cinta Liu Xuan dan Shan masih terus terjaga.
Dari situ, timbul lagi satu keunggulan Mermaid sebagai sebuah film hiburan. Dengan konsep yang sekilas tampak hanya untuk senang-senang, film ini tetap bisa menyatukan unsur komedi, kisah cinta, petualangan, laga, bahkan pesan lingkungan dalam sebuah tontonan yang efektif.
Sejak awal sebenarnya sudah jelas bahwa film ini ingin menyelipkan pesan kelestarian lingkungan, namun bagian itu tak hanya dari kata-kata, melainkan juga dari caranya membangun kepedulian penonton terhadap Shan dan sesama manusia ikan yang hidupnya terancam. Bahwa sekalipun film ini fantasi dan komedi yang kelihatan ringan, unsur tentang tertindasnya tokoh-tokoh ini tidak sertamerta digampangkan.
Menariknya lagi, Mermaid juga tidak serba menggampangkan karakter-karakternya, sekalipun mereka dirancang sebagai karakter yang komikal. Di bagian awal, film ini seperti tidak ingin mengajak penonton segera membela karakter tertentu, terutama antara Liu Xian dan Sha.
Sebab, niat dan perbuatan mereka sama-sama tidak simpatik: Liu Xian yang dengan gampang menerima proyek Teluk Hijau hanya supaya bertambah kaya, sementara Shan menurut saja saat disuruh membunuh orang yang tak dikenalnya. Dalam perjalanannya, ada transisi yang dilakukan dengan mulus terhadap dua karakter ini, sehingga pada akhirnya mereka bisa merebut simpati di saat yang tepat, juga sekaligus bisa memancing tawa.
Memang secara teknis visual, Mermaid masih terlihat sangat kartun, bahkan sepertinya film ini menyiasati keterbatasan efek visual dengan tak banyak menampilkan adegan bawah laut. Tetapi, itu semua masih sejalan dengan corak film ini—sebagaimana sudah di-set sejak adegan pembuka di 'museum' hewan purba, yang absurd dan komikal. Ketika cerita, penataan adegan, dan humornya sudah mampu memaku perhatian, efek visual yang kurang sempurna sebenarnya cukup bisa terabaikan.
Bagi yang sudah kenal Stephen Chow, ekspektasi terhadap film Mermaid mungkin lebih kepada cara apa lagi yang Chow gunakan untuk membuat penonton terpingkal-pingkal. Ekspektasi ini pun terbayar dengan sangat baik di filmnya, dari yang mengharapkan humor slapstick, permainan kata, situasi, hingga humor yang menjurus ke ranah dewasa.
Namun, di balik itu, Mermaid juga menunjukkan keterampilan dalam merancang cerita, menuturkannya, memperkenalkan karakter-karakternya, hingga memainkan emosi dari susunan adegannya, yang mungkin tadinya dikira tak bisa didapat dari film penuh humor absurd seperti ini.